Layanan

KONSULTAN STATISTIK -- Support By: SEM-AMOS-LISREL-PLS

DISERTASI-TESIS-SKRIPSI-SURVEI-PROPOSAL-MAKALAH

Jumat, 06 Januari 2012

Teori Perkawinan

1.      Pengertian perkawinan
Konsep perkawinan memiliki arti dari berbagai sudut pandang, secara yuridis definisi perkawinan di atur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 (dalam Walgito, 2000), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang  laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2007), perkawinan merupakan kesatuan dua individu laki-laki dan perempuan menjadi satu kesatuan yang saling mencintai, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling memberi dukungan, saling melayani, kesemuanya diwujudkan dalam kehidupan yang dinikmati bersama. Menurut Sahli (1994) perkawinan sebagai hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama memenuhi hasrat melangsungkan hidupnya dengan menurunkan keturunannya.
Perkawinan tidak hanya dilihat dari dimensi prokreasi (menghasilkan keturunan), tetapi sudah meluas kepada kebutuhan psikologis pasangan suami istri. Menurut Kusnadi  (2005) perkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang bukan semata-mata guna memenuhi kebutuhan psikologis, tetapi juga kebutuhan afeksional (kasih sayang), kebutuhan mencintai dan dicintai, kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan. Menurut Wantjik (1976) ikatan perkawinan merupakan suatu kesepakatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ditujukan untuk saling mencintai satu sama lain dan berjanji untuk tidak mencintai orang lain lagi, saling berbagi perasaan, dan saling berbagai kebahagiaan. Menurut Papilia (1995) perkawinan merupakan sumber penyediaan keintiman, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan kebutuhan seksual dan kebersamaan antara sepasang suami istri.
Berdasarkan uaian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai sepasang suami istri untuk berjanji hidup bersama-sama dan saling mengisi dalam pemenuhan kebutuhan biologis maupun psikologis serta selalu berusaha saling menciptakan dan mempertahankan kebahagiaan dan keharmonisan perkawinan sehingga tujuan dan harapan yang diinginkan dapat tercapai.

2.      Tujuan perkawinan
Menurut Walgito (2000), suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Lebih lanjut Walgito (2000) tujuan perkawinan adalah mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Menurut Sahli (1994), tujuan perkawinan sesungguhnya sangat mulia apabila dilandaskan kesadaran untuk saling memberi yang terbaik walaupun pasangannya tidak menuntut hal tersebut.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Wantjik (1976) tujuan melangsungkan perkawinan adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga, setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama pasangannya sampai akhir waktu. Menurut Kusnadi (2005) tujuan bersama dalam perkawinan adalah komposisi dari setiap tujuan personal pasangan yang mungkin dengan cara kooperatif akan menyertakan kedua keinginan pasangan tersebut, apabila kedua keinginan tersebut terkandung dalam satu tujuan bersama sebagai hasil akhir.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga yang bahagia bersama pasangannya sampai akhir waktu.

3.      Tahap-tahap kehidupan perkawinan
Tahap-tahap dalam perkawinan perlu diketahui agar mengerti tentang konsep perjalanan hidup pasangan serta masa-masa krisis yang dialaminya. Walgito (2000), terdapat tiga periode dalam perkawinan yaitu : a. Tahun awal (early years). Masa ini mencakup kurang lebih 10 tahun pertama perkawinan. Masa ini merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi kedua belah pihak, pasangan suami istri berusaha untuk saling mengenal, menyelesaikan sekolah atau memulai karier, merencanakan kehadiran anak pertama serta mengatur peran masing-masing dalam menjalani hubungan suami istri tahun-tahun pertama biasanya sangat sulit untuk dilalui karena pasangan muda ini tidak dapat mengantisipasi ketegangan atau tekanan yang mungkin timbul. Angka perceraian tertinggi terjadi antara tahun kedua sampai tahun keempat pekawinan. Suami istri harus saling belajar satu sama lain untuk saling mengenal, sebab pada masa ini biasanya terjadi suatu krisis yang disebabkan karena masing-masing kurang memainkan peranan baru baik suami istri ataupun sebagai orangtua; b. Tahun pertengahan (midlle years). Periode ini berlangsung antara tahun kesepuluh sampai dengan tahun ketigapuluh dari masa perkawinan. Masa yang terjadi pada tahap ini adalah “child full phase” yang kemudian diikuti oleh “us aging phase”. Pada “child full phase” orangtua mengkonsentrasikan pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu suami istri harus mampu menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam perkawinan, sehingga tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada “us aging phase” pasangan suami istri menemukan dan membangun kembali hubungan antara kedua belah pihak. Pasangan suami istri kembali menyusun prioritas  baru dan menikmati hubungan intim yang telah diperbaharui, tanpa ada anak-anak dalam rumah. Bagi suami istri yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat digunakan untuk memusatkan perhatian pada karier ataupun aktivitas-aktivitas produktif lainnya. Pasangan suami istri merupakan titik penting, yang berarti bahwa suami istri serasa berada dalam sarang kosong karena anak-anaknya telah pergi atau menikah; c. Tahun matang (mature years). Masa ini dimulai pada tahun ketiga puluh dalam perkawinan. Pasangan suami istri berada dalam peran yang baru, misalnya bertindak sebagai kakek atau nenek, menikmati hari tua bersama-sama atau hidup sendiri lagi karena salah satu pasangan telah meninggal lebih dulu. Masa ini merupakan masa pensiun atau pengunduran diri dari kegiatan-kegiatan di dalam dunia kerja.
Menurut Hurlock (2004) membagi periode pernikahan menjadi tiga, yaitu : a. Tahun-tahun awal sebagai periode dewasa dini. Pada periode ini terdapat kesulitan penyesuaian pernikahan yang dialami oleh pasangan suami istri di awal-awal pernikahan. Penyesuaian diri ini biasanya sering timbul ketegangan emosi yang memicu adanya pertikaian atau konflik dalam rumah tangga, yang muncul dari pihak suami maupun istri. Tahun awal perkawinan adalah periode penyesuaian yang banyak memerlukan adanya sikap kedewasaan dari kedua belah pihak, biasanya pasangan mempunyai sikap ego yang tinggi, saling mempertahankan keinginannya, merasa lebih pengalaman, merasa lebih pandai dan sebagainya; b. Tahun-tahun pertengahan sebagai periode usia madya. Periode pernikahan ini anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk studi di perguruan tinggi, menikah atau  mencari pekerjaan. Orangtua harus menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut periode sarang kosong atau empty nest. Pada saat periode ini terjadi, berarti bahwa pada saat itu kedua orangtua tersebut harus melakukan perubahan peran dan keluarga tersebut perlu mencari kegiatan di luar rumah; c. Tahun-tahun kematangan sebagai periode usia lanjut. Periode ini penyesuaian terhadap pembangunan hubungan yang baik pada pasangan penting untuk dilakukan. Perubahannya peran dari pekerja ke pensiunan kebanyakan pria menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tinggal di rumah daripada yang dilakukan sebelum pensiun. Hubungan yang baik dengan pasangan akan mendatangkan kebahagiaan, sebaliknya jika hubungan yang kaku dan dingin maka percekcokan akan meningkat.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa periode pernikahan ada tiga bagian yaitu : a. Usia pernikahan 10 tahun pertama merupakan tahun-tahun periode awal pernikahan. Pada periode ini, masa krisis yang dialami suami istri adalah penyesuaian dengan pasangan dalam  hal penyesuaian masalah-masalah yang muncul dalam pernikahan dan apabila tidak berhasil akan menimbulkan konflik;  b. Usia pernikahan antara 10-30 tahun merupakan periode  menengah dalam suatu pernikahan. Pada periode ini, suami istri akan mengalami child full phase yaitu fase untuk mengkonsentrasikan diri pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga serta memikirkan tujuan yang baru untuk masa yang akan datang. Pada fase ini suami istri juga mengalami use again phase yaitu fase suami istri mulai menyusun kembali prioritas baru dan belajar menikmati hubungan intim yang telah diperbaharui tanpa kehadiran anak atau empty nest; c.  Usia pernikahan 30 tahun ke atas merupakan tahun-tahun kematangan pada fase ini suami istri mempunyai peran baru yaitu sebagai kakek nenek, pensiun dan banyak menghabiskan waktu di rumah.

4.      Pengertian menikah kembali (Remarried)
Pengertian menikah kembali tidak jauh berbeda dengan pengertian dari perkawinan, hanya bedanya dalam menikah kembali ini dilakukan oleh orang yang sebelumnya sudah menikah kemudian berpisah. Perpisahan pasangan ini dapat diakibatkan oleh perceraian atau meninggalnya salah satu pasangan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2007), menikah kembali merupakan ikatan diantara dua insan yang bertujuan untuk saling mencintai, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling memberi dukungan, saling melayani, kesemuanya diwujudkan dalam kehidupan yang dinikmati bersama yang sebelumnya dari salah satu dari pasangan ini telah menikah.
Pengertian menikah kembali dapat terjadi apabila salah satu diantara pasangan pernah melakukan pernikahan, kemudian cerai atau berpisah dengan pasangannya. Menikah kembali dapat dilakukan oleh duda dengan perawan, duda dengan janda, janda dengan jejaka. Menurut Poerwadarminta (1986) duda adalah seorang laki-laki yang tidak memiliki istri lagi, baik yang disebabkan oleh perceraian hidup maupun mati. Janda adalah perempuan yang tidak bersuami lagi, baik karena perceraian hidup maupun mati. Jejaka adalah orang laki-laki yang sebelumnya belum menikah. Perawan adalah orang perempuan yang sebelumnya belum menikah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menikah kembali adalah merupakan ikatan diantara dua insan yang bertujuan untuk saling mencintai, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling memberi dukungan, saling melayani, kesemuanya diwujudkan dalam kehidupan yang dinikmati bersama yang sebelumnya dari salah satu dari pasangan ini telah menikah. Menikah kembali dapat dilakukan oleh duda dengan perawan, duda dengan janda, janda dengan jejaka.

5.      Faktor pendorong individu untuk menikah kembali
Menurut Kusnadi (2005), ada beberapa faktor pendorong individu yang akan menikah kembali, antara lain: a. Faktor pemenuhan kebutuhan biologi (seksual). Seorang individu yang masih tergolong usia muda dianggap sebagai orang yang memiliki kemampuan reproduktif tinggi, artinya masih memiliki dorongan kebutuhan biologis yang cukup kuat dan dapat mempunyai keturunan lagi. Usia reproduktif itu apabila seseorang yang bercerai dengan pasangan hidupnya dan tetap dapat menikmati kebutuhan seksual serta menginginkan keturunan; b. Faktor etika, moralitas dan norma sosial. Seseorang hanya dapat diperkenankan untuk menyalurkan kebutuhan biologis (seksual) dengan lawan jenisnya apabila telah memenuhi persyaratan normatif sosiologis, artinya harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum kemasyarakatan yang berlaku. Bagi seseorang yang berstatus janda atau duda harus bersedia dan dituntut untuk mematuhi norma sosial yang berlaku di masyarakat. Terjadinya pelanggaran atau penyimpanan norma (social deviation) akan mengganggu kehidupan tatanan sosial masyarakat sehingga masyarakat akan memberi hukuman atau sanksi; c. Faktor kebutuhan ekonomi-keuangan. Seseorang berusaha menikah kembali karena memang merasa tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan ekonami yang diperlukan bagi dirinya maupun anak-anaknya. Pada umumnya hal ini dialami oleh perempuan yang tidak bekerja (ibu rumah tangga), dengan menikah kembali beban kebutuhan ekonomi untuk diri sendiri ataupun anak-anak dapat diatasi dengan baik bila dibandingkan hidup sendiri; d. Faktor status sosial (tekanan sosial). Beratnya tekanan sosial (social stressor) yang dirasakan seseorang yang bercerai membawa dampak yang tidak baik bagi ketenangan batin, pikiran, perasaan ataupun perilakunya dalam menjalani kehidupan. Untuk memecahkan masalah ini, seseorang dapat menikah kembali dengan pasangan hidup yang baru; e. Faktor pemeliharaan dan pendidikan anak-anak. Sebelum bercerai, seseorang mungkin mempunyai anak dari pernikahan sebelumnya, ketika terjadi perceraian anak diharuskan ikut ayah atau ibunya, ketika merasa tidak mampu membesarkan, mengajar ataupun mendidik hidup anak-anaknya dan tidak ada yang membantu dalam mengurus dan memelihara anak-anaknya maka seseorang perlu untuk menikah kembali.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong individu yang akan menikah kembali, antara lain: a. Faktor pemenuhan kebutuhan biologi (seksual); b. Faktor etika, moralitas dan norma sosial; c. Faktor kebutuhan ekonomi-keuangan; d. Faktor status sosial (tekanan sosial); e. Faktor pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar