Layanan

KONSULTAN STATISTIK -- Support By: SEM-AMOS-LISREL-PLS

DISERTASI-TESIS-SKRIPSI-SURVEI-PROPOSAL-MAKALAH

Jumat, 06 Januari 2012

Kecemasan Memilih Pasangan Hidup

1.   Pengertian pemilihan pasangan hidup
Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal ialah memilih pasangan hidup. Semakin cepat individu mencapai kematangan biologis dan perkembangan psikis, semakin berkembang pula perasaan heteroseksual, yaitu rasa tertarik secara seksual kepada lawan jenisnya. Individu mulai berminat untuk memilih pasangan hidupnya atau mulai mengantisipasi seorang “pacar”.
Menurut Miningsih (dalam Kurniawan, 2007), pasangan hidup adalah orang yang dipilih menjadi teman hidup untuk selamanya dan meraka disebut suami istri. Berdasarkan pengertian tersebut, seorang laki-laki dan perempuan, satu sama lain harus saling mencari dan memilih. Laki-laki harus memilih perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya, demikian juga sebaliknya perempuan harus memilih laki-laki untuk menjadi pasangan hidupnya. Tanpa mencari dan memilih, agaknya sulit bagi laki-laki atau perempuan untuk mendapatkan pasangan yang cocok, serasi dan seimbang dalam berbagai hal kehidupan pernikahan.
Memilih atau tidak memilih pasangan hidup merupakan suatu keputusan yang sangat berarti bagi seseorang. Orang yang dipilih akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap cara hidup pasangannya, pengalaman-pengalamannya dan kebahagiannya sepanjang masa (Hall dan Lindzey, 2001). Pada saat individu berminat untuk memilih pasangan hidup, terdapat kecenderungan yang disadari atau tidak disadari bahwa individu akan memilih seseorang yang memiliki karakter yang ada persamaannya dengan dirinya, baik secara fisik maupun psikis. Hal ini diperkuat oleh pendapat Marstein (dalam Kurniawan, 2007). Pada saat individu berminat untuk memilih pasangan hidup, terdapat kecenderungan yang didasari atau tidak disadari bahwa individu akan memilih seseorang yang memiliki karakteristik yang ada persamaannya dengan dirinya, yang mempunyai latar belakang cocok secara etnis, agama, sosial dan lain sebagainya.
Ada teori lain yang berpendapat bahwa individu memilih pasangan hidup, yang memiliki sifat-sifat karakteristik yang bertentangan dengan dirinya, namun saling melengkapi dan saling mengisi atau sifatnya koplementer, misalnya saja memilih perempuan yang pemalu, berperasaan harus akan memilih pasangan yang bersifat dingin dan menikmati hidup (Kartono, 1992).
Pada masa sekarang, memilih pasangan hidup lebih banyak berdasarkan faktor-faktor psikososial. Kaum perempuan memilih calon suaminya berdasarkan pertimbangan faktor intelegensi, yaitu memilih laki-laki yang cukup cerdas atau lebih cerdas dari dirinya sendiri. Hal ini disebabkan karena pada masa sekarang, faktor intelegensi menjadi sarana utama untuk memperoleh sukses dalam kehidupan. Alasan ini sependapat dengan Cinta (dalam www.geocities.comatauiiensiteatauartikel4.html, 2008), penampilan luar seseorang hanya cuma enak dalam urusan ranjang dan tidak akan mampu membantu mencari solusi pada saat-saat diperlukan. Pasangan yang pintar bisa membantu mengatur rumah tangga dan mungkin bisa juga membantu finansial atau keuangan keluarga dengan melakukan usaha atau bekerja.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam memilih pasangan hidup merupakan suatu keputusan yang harus diputuskan secara seksama dan teliti, sehingga kelak kehidupan yang akan datang menjadi bahagia.

2.     Proses pemilihan pasangan hidup
Ada beberapa dipertimbangkan dalam mendapatkan pasangan hidup (Gunarsa dan Gunarsa, 2007) adalah : a. Memperhatikan pendidikan, latar belakang budaya, latar belakang keluarga, agama, kesenangan dan kebiasan-kebiasaan yang kadang-kadang dianggap sepele, tetapi sering berpengaruh dalam hubungan suami istri. Makin banyak persamaan yang dimiliki, makin mudah tercapai kesesuaian dan penyesuaian terhadap teman hidup masing-masing; b. Perlunya pemikiran dan pertimbangan yang bijaksana, yaitu pemilihan pasangan hidup melalui proses pertimbangan lain dan tidak hanya berdasarkan pada cinta yang semata-mata dilandasi nafsu birahi saja.
Bagaimana individu memperhatikan pertimbang-pertimbangan tersebut di atas, perlu juga diperhatikan bagaimana proses pemilihan pasangan yang dihadapi oleh individu. Pemilihan pasanan hidup dapat digolongkan menjadi dua cara, yaitu : a. Pemilihan pasangan oleh ayah-ibu. Cara ini sering dilakukan oleh masyarakat yang masing menjunjung tinggi nilai-nilai “keutuhan keluarga” dan “penyatuan ekonomi”. Pernikahan sebagai wahana pemersatu keluarga besar dan pelanjut warisan nama keluarga, serta kontinuitas pertumbuhan ekonomi keluarga (Saxton dalam Kurniawan, 2007). Dalam bentuk yang ekstern, meskipun terjadi keengganan pada anak laki-laki dan perempuan, pernikahan akan tetap berlangsung, karena menyangkut nama baik keluarga serta rasa malu jika terjadi pembatalan; b. Pemilihan oleh pasangan sendiri. Cara ini biasanya dilakukan oleh individu yang memiliki daya mampu independent yang kuat serta mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan siapapun. Bagi individu, cinta itu penting dalam mencari teman hidup. Kebanyakan orang berada diantaranya, yaitu pilihan ayah-ibu diinformasikan kepada anaknya, namun anak juga menawarkan pilihannya kepada ayah-ibunya.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Saxton (dalam Kurniawan, 2007), bahwa prosedur pemilihan pasangan hidup bermacam-macam antara budaya yang satu dengan yang lain. Ada yang menganggap pemilihan pasangan hidup merupakan tanggung jawab ayah-ibu dengan mencoba menjodohkan anaknya dengan pasangan yang dianggap terbaik. Anak hanya mendapat sedikit kesempatan dan karakteristik pribadi tidak terlalu dipertimbangkan pada masyarakat lain, pemilihan pasangan hidup merupakan tanggung jawab anak untuk menemukan jodohnya dan pertimbangan pribadi sangat penting. Metode pemilihan pasangan hidup berkisar dalam suatu kontinum dari yang ekstrim dipilihkan oleh ayah-ibu dan anak tidak boleh menolak, sampai dengan yang ekstrim individu memilih sendiri pasangannya dan ayah-ibu hanya merestui. Meskipun kebanyakan masyarakat berada pada dua titik ekstrim tersebut, namun banyak juga masyarakat yang berada pada akhir kontinum “pilihan orangtua” dan pola ini bermacam-macam variasinya.
Pengelompokan lain dalam hal mencari dan memilih pasangan hidup, dikemukakan  oleh Djunaedi (dalam Kurniawan, 2007), antara lain :   a. Jodoh dicari dan dipilih oleh ayah-ibu. Bagi mayarakat yang masih memegang adat tradisi perkawinan atau bentuk perkawinan tertentu, jodoh ditentukan oleh ayah-ibunya. Anak harus menerima pasangan yang telah dicarikan dan dipilih oleh ayah-ibu. Oleh karenanya kedua belah pihak ayah-ibu dengan sepenuh kemampuan harus ikut melibatkan diri ke dalam kehidupan rumah tangga anak. Membimbing atau membina anak itu secara langsung sampai betul-betul telah memahami arti, fungsi dan tujuan perkawinan atau kehidupan rumah tangga yang sedang dijalaninya; b. Jodoh dicari dan dipilih oleh ayah-ibu, tapi perkawinan berlangsung persetujuan anak. Mencari dan memilih pasangan tergantung ayah-ibu, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Setelah ayah-ibu mendapat calon pasangan, kemudian ditunjukkan pada anaknya. Apabila anak menyetujui, maka segera dipersiapkan perkawinan, tetapi jika anak belum menyetujui ayah-ibu segera mencari dan memilih calon lain hingga anak menyetujuinya. Alasan ayah-ibu mencari dan memilih jodoh untuk anak adalah agar anak itu dapat hidup berbahagia dan sejahtera dalam berumah tangga. Ayah-ibu merasa khawatir terjadi salah pilih apabila anaknya mencari dan memilih pasangan sendiri;    c. Anak laki-laki mencari dan memilih pasangan sendiri, keputusan menikah tergantung pada ayah-ibu. Adakalanya bagi masyarakat tertentu, yang mencari dan memilih pasangan adalah anak laki-laki, akan tetapi keputusan bisa atau tidaknya dilangsungkan perkawinan tergantung pada kedua ayah-ibu. Apabila anak laki-laki telah berhasil memilih calon istri, diajukan calon itu pada ayah-ibunya. Jika ayah-ibu menyetujui, kemungkinan besar perkawinan dapat dilangsungkan; d. Anak laki-laki atau perempuan mencari dan memilih pasangan sendiri, tetapi keputusan dilangsungkannya perkawinan tergantung pada kedua belah pihak ayah-ibu. Pada masyarakat ini selain laki-laki yang aktif, anak perempuan pun ikut aktif mencari dan memilih calon pasangannya dan keputusan perkawinan masih tergantung pada kedua ayah-ibu, baik pihak laki-laki maupun perempuan; e. Anak laki-laki dan anak perempuan mencari dan memilih sendiri jodohnya serta menentukan sendiri perkawinannya. Anak laki-laki dan perempuan dapat mencari dan memilih sendiri jodohnya serta menentukan sendiri perkawinannya. Kedua ayah-ibu hanya merestui dan berdoa untuk keselamatan dan kelangsungan perkawinan atau rumah tangganya. Alasan dalam kelompok ini adalah karena anak sudah cukup dewasa untuk menentukan sikapnya sendiri, anak sudah memahami arti, fungsi dan tujuan perkawinan atau kehidupan rumah tangga. Ayah-ibu pun telah memahami bahwa kebahagian rumah tangga anak bukan terletak pada kedua belah pihak ayah-ibu, tetapi terletak pada anak sendiri sebagai pembentuk rumah tangga.




3.     Kecemasan  untuk mendapatkan pasangan hidup
Susilowindradini (2000) mengungkapkan bahwa orang dewasa awal mempersiapkan diri mengambil peranannya sebagai orang dewasa sejak usia 20-an sampai akhir 30-an. Sebelum usia 27 tahun terjadi kekhawatiran yang berkaitan dengan hubungan antara dua jenis kelamin. Pemilihan pasangan dalam usia 25 – 30 tahun biasanya sudah dilatarbelakangi oleh pemikiran yang matang, baik dari segi ekonomi maupun pertumbuhan relasi sosial telah mencapai tingkat yang mapan.
Kecemasan untuk mendapatkan pasangan hidup bagi orang dewasa yang belum mendapatkan pasangan hidup lebih disebabkan oleh adanya reaksi fisiologis dan reaksi psikologis. Reaksi fisiologis seseorang yang mengalami kecemasan adalah berupa napas sesak, dada tertekan, kepala seperti mengembang, linu-linu, gangguan di sekitar perut, nyeri, lekas lelah denyut jantung cepat, keringat dingin dan gejala lain seperti gangguan pada motorik, pencernaan atau saraf pusat. Hawari (2001) menambahkan bahwa kecemasan dilihat dari gejala fisik yaitu gemetar, tegang nyeri otot, kening berkerut, muka tegang, mulut kering, pusing, kesemutan, rasa mual, sering buang air seni, diare, muka merah dan rasa tidak enak di ulu hati.
Reaksi psikologis pada seseorang adalah rasa was-was, khawatir akan terjadi sesuatu yang menegangkan, prihatin dengan pikiran orang mengenai dirinya, tegang terus menerus, tidak mampu bersikap santai, kadang-kadang bicara cepat tapi putus-putus. Sedangkan menurut Hawari (2001) kecemasan ditandai dengan adanya rasa gelisah cemas, khawatir, takut berpikir berulang-ulang, membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain, mengamati lingkungan secara berlebihan sehingga mengakibatkan perhatian mudah beralih, sukar berkonsentrasi, merasa ngeri, tidak bisa diam dan tidak dapat santai.
Kecemasan yang dirasakan individu yang belum mempunyai pasangan hidup, sedangkan dirinya telah cukup umur untuk menikah muncul ketika dirinya mengingat bahwa dirinya sudah saatnya menikah tetapi belum punya pasangan hidup. Kecemasan ini juga muncul disaat melihat orang lain telah menikah sedangkan dirinya belum menikah, sehingga rasa cemas muncul secara spontan dan menimbulkan tekanan psikologis dan fisiologis dalam diri individu tersebut.
Adanya kecemasan yang dirasakan individu karena belum mempunyai pasangan hidup akan mengakibatkan perilaku individu dalam masyarakat menjadi berubah, individu akan merasa minder dalam bergaul atau bahkan kesehatannya akan sering terganggu dengan adanya pikiran yang membebaninya.
Berdasarkan uraian di atas  dapat disimpulkan bahwa kecemasan untuk mendapatkan pasangan hidup akan terjadi reaksi fisiologis dan psikologis individu yang kemudian berakibat pada perilaku individu dan kinerja individu dalam kesehariannya.

2 komentar:

  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin pasangan hidup, ada beberapa hal juga loh yang perlu temen-temen pahami. Pastikan pasangan kamu adalah orang yang punya prinsip keuangan agar kehidupan finansial kamu juga ikut membaik. Selengkapnya bisa cek di sini: Prinsip keuangan pasangan

    BalasHapus