Layanan

KONSULTAN STATISTIK -- Support By: SEM-AMOS-LISREL-PLS

DISERTASI-TESIS-SKRIPSI-SURVEI-PROPOSAL-MAKALAH

Jumat, 06 Januari 2012

Teori Empati

1.   Pengertian empati                                                                                                                                                                         
Menurut Stein dan Howard (2002) empati adalah kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain. Empati adalah menyelaraskan diri (peka) terhadap apa, bagaimana dan latar belakang perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empatik berarti mampu membaca orang lain dari sudut pandang emosi.
Menurut Egan (1986) empati adalah kemampuan untuk memasuki dan memahami dunia orang lain dan untuk mengkomunikasikan dengan individu tersebut. Menurut  Adler (dalam Taylor, 1983) berpendapat bahwa empati adalah menerima perasaan orang lain dan meletakkan diri orang tersebut pada perasaan individu yang merasakannya (to feel in). Kemampuan berempati yaitu kemampuan merasakan kesulitan atau penderitaan orang lain, termasuk kesanggupan memahami perasaan dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi orang lain.
Empati merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan hubungan antar pribadi dengan mencoba memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan orang lain (lawan bicara). Melalui empati, individu akan mampu mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu permasalahan. Memahami orang lain akan mendorong individu saling berbagi (Moreno, 2004).
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain. Empati juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif (Hardiawan, 2007).
Berdasarkan teori dan ulasan yang diberikan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa empati adalah suatu kemampuan untuk memasuki dan memahami dunia orang lain, merasakan dan menangkap perasaan orang lain, meletakkan diri individu pada apa, bagaimana, latar belakang perasaan dan pikiran orang lain serta berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan orang lain.

2.   Proses empati
Menurut Schultz (1991) proses empati bertahap sebagai berikut:  a. Membayangkan diri dalam kedudukan orang lain. Orang yang tidak pernah membayangkan betapa susahnya menjadi petani, maka dirinya tidak akan dapat menghargai hasil kerja dari petani tersebut. Membayangkan diri seolah-olah menjadi orang lain yang sedang melakukan pekerjaan berat atau merasakan seolah-oah sedang mendapat bencana akan mampu menumbuhkan empati dalam diri terhadap suatu peristiwa yang disaksikannya; b. Membandingkan sikap diri sendiri dengan sikap yang dialami oleh orang lain. Memahami kondisi yang dialami orang lain sangatlah sulit, maka dibutuhkan suatu pembelajaran bagaimana seandainya diri sendiri menjadi atau dalam posisi tersebut, apakah juga akan berbuat seperti yang dilakukan orang tersebut atau mempunyai tindakan lain; c. Mengambil kesimpulan-kesimpulan dari sikap individu lain dan membandingkannya dengan reaksi khayal apabila berada dalam keadaan yang di alami orang lain. Apabila individu dapat membayangkan suatu peristiwa atau keadaan dan dirinya berada dalam situasi tersebut, maka individu tersebut akan mempunyai sikap yang lebih nyata untuk mengambil tindakan terhadap situasi dan kondisi yang dirasakan secara langsung.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses empati bertahap sebagai berikut: a. Membayangkan diri dalam kedudukan orang lain;     b. Membandingkan sikap diri sendiri dengan sikap yang dialami oleh orang lain; c. Mengambil kesimpulan-kesimpulan dari sikap individu lain dan membandingkannya dengan reaksi khayal apabila berada dalam keadaan yang di alami orang lain.

3.   Tingkatan empati pada anak
Shapiro (1997) mengemukakan tingkatan empati yang dimiliki oleh seorang anak yaitu: a. Usia sampai dengan 5 tahun disebut dengan empati emosi atau empati global. Usia ini terjadi ketidakmampuan anak untuk membedakan atau memisahkan antara dirinya sendiri dengan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Anak selalu mengartikan bahwa setiap penderitaan yang dialami oleh bayi lain adalah juga penderitaannnya; b. Usia 1 dan 2 tahun anak mulai dapat melihat dengan jelas bahwa penderitaan anak lain tidak otomatis menjadi penderitaannya. Sebagian besar anak balita secara naluri berusaha meringankan penderitaan anak lain. Namun karena perkembangan kognitifnya belum cukup matang, anak-anak seusia ini belum dapat melakukan apa yang seharusnya dilakukan; c. Usia 6 sampai dengan usia kanak-kanak, anak memasuki tahap empati kognitif, yaitu kemampuan melihat segala sesuatu sesuai dengan perspektif dan tingkah laku orang lain. Kemampuan anak memahami perspektif orang lain mengarahkannya untuk tahu kapan mendekati teman yang sedang sedih dan kapan harus meninggalkan sendirian; d. Usia 10 - 12 tahun, atau diakhir masa kanak-kanak. Anak-anak mengembangkan empatinya dengan secara langsung mengamati, termasuk terhadap orang yang belum pernah ditemui. Empati ini disebut juga empati abstrak, anak-anak mengungkapkan kepeduliannya terhadap orang-orang yang kurang beruntung dibanding dirinya, entah di tempat tinggalnya atau bahkan di luar lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan tingkatan empati yang dimiliki oleh seorang anak yaitu: a. Usia sampai dengan 5 tahun disebut dengan empati emosi atau empati global; b. Usia 1 dan 2 tahun anak mulai dapat melihat dengan jelas bahwa penderitaan anak lain tidak otomatis menjadi penderitaannya; c. Usia 6 sampai dengan usia kanak-kanak, anak memasuki tahap empati kognitif; d. Usia 10 - 12 tahun, atau diakhir masa kanak-kanak. Anak-anak mengembangkan empatinya dengan secara langsung mengamati, termasuk terhadap orang yang belum pernah ditemui.

4.   Faktor-faktor yang mempengaruhi empati
Shapiro (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi empati yaitu: a. Faktor kognitif.  Bertambah matangnya wawasan dan ketrampilan kognitif, anak-anak secara bertahap belajar mengenali tanda-tanda kesedihan orang lain dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat; b. Faktor bawaan. Anak laki-laki sama sosialnya dengan anak perempuan tetapi anak cenderung lebih suka memberikan bantuan fisik atau bertindak sebagai pelindung. Sedangkan anak perempuan lebih suka memberikan dukungan psikologis misalnya menghibur anak lain yang sedang sedih; c. Faktor pendidikan. Pendidikan khususnya pendidikan agama mengambil peranan penting dalam pelaksanaan empati tersebut. Penerapan akan pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari justru efektif dalam mempengaruhi anak; d. Keluarga. Penerapan peraturan keluarga yang jelas, konsisten dan tidak mudah memberikan memberikan keringanan kepada anak serta tuntutan akan tanggung jawab kepada anak tanpa adanya imbalan apapun akan mempengaruhi serta menghasilkan anak yang peduli, tanggung jawab, peka dan lebih penyayang; e. Pengalaman akan perilaku empati. Praktek akan perilaku simpatik dapat mempengaruhi hidup manusia. Pelaksanaan kebaikan secara acak dan melibatkan diri dalam kegiatan bermasyarakat akan mengajari anak akan pengalaman untuk melakukan perilaku empati serta lebih peduli pada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi empati yaitu: a. Faktor kognitif; b. Faktor bawaan; c. Faktor pendidikan; d. Keluarga; e. Pengalaman akan perilaku empati.

5.   Dasar- dasar dalam kemampuan untuk berempati
Egan (1986) mengemukakan bahwa ada dua kemampuan dasar dalam melakukan empati. Kemampuan dasar tersebut merupakan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan selalu berjalan bersama-sama. Kemampuan dasar dalam berempati tersebut adalah sebagai berikut: a. Attending. Sebelum seseorang memberikan respon kepada orang lain dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, maka orang tersebut pertama kali harus memperhatikan orang lain dan mendengarkan secara hati-hati pada apa yang akan dikatakan. Apa yang ingin dicapai ini bukanlah kemampuan seseorang untuk mengulangi kata-kata orang lain. Attending membawah pada kehadiran seseorang secara utuh sangat diharapkan, artinya adalah kehadiran baik secara fisik maupun secara sosial emosional dari orang lain. Pietrofesa et.al (1978) mengatakan bahwa perilaku attending secara khusus banyak terdapat dalam komunikasi non verbal. Perilaku attending tersebut dapat mengkomunikasikan penghargaan, penuh perhatian pada orang lain dan mencakup isi-isi yang penting untuk hubungan yang bertujuan membantu orang lain (helping relationship). Hal ini dapat mengekspresikan pada orang lain sebuah tingkatan yang saling menerima, membuktikan suatu persetujuan, penolakan dan perbedaan dari seseorang dan secara sederhana merefleksikan kemampuan dasar interpersonal yang baik dalam setiap aspek kehidupan manusia. Attending yang baik menampilkan seseorang untuk mendengarkan secara penuh atau pada apa yang dikatakan oleh orang lain baik secara verbal maupun non verbal. Sebuah perilaku attending yang efektif mencakup: 1) Kontak mata. Seseorang yang sedang berbicara memandang pada mata tetapi hal ini bukanlah pandangan utama dan satu-satunya yang akan menimbulkan suatu tekanan pada penerima. Hal ini dapat dipertahankan untuk beberapa waktu yang agak panjang. Perilaku kontak mata dapat menimbulkan kepercayaan seseorang maupun ketidakpercayaan seseorang pada orang lain. Kepercayaan terhadap orang lain dapat timbul ketika seseorang tidak memandang pada mata sehingga akan menimbulkan keadaan yang tidak nyaman bagi dirinya, namun dengan penghindaran kontak mata dapat pula berarti suatu penghargaan terhadap orang tersebut. Hal ini tergantung dan pengaruh dari kebudayaan. Kontak mata dalam sebuah percakapan merupakan isi dasar yang penting dalam perilaku attending (Pietrofesa, 1968); 2) Posisi tubuh yang bergerak maju. Mengindikasikan pengaruh yang utuh dari sebuah perilaku, misalnya keadaan untuk siap kerja. Beberapa posisi dalam attending mungkin dapat membantu orang lain untuk mendengarkan secara efektif; 3). Posisi tubuh yang terbuka. Posisi tubuh yang baik seharusnya tidak dengan menyilangkan tangan atau kaki karena dapat mengindikasikan berpegang teguh pada diri sendiri pada tingkatan tertentu; 4) Menghadapi seseorang yang berbicara secara utuh atau menyeluruh; 5) Bersahabat dengan orang lain melalui ekspresi wajah; 6) Pemberian nilai yang tertunda, artinya dalam attending seseorang memberikan nilai memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan tentang orang lain maupun masalah yang dihadapi oleh orang lain;  7) Menghindari gangguan dari seseorang. Dalam  perilaku attending tersebut seseorang harus sadar dan mengurangi gangguan yang berhubungan dengan hal-hal fisik sesedikit mungkin; b. Active listening. Attending yang baik akan memudahkan seseorang untuk mendengarkan secara hati-hati pada apa yang dikatakan oleh orang lain baik secara verbal maupun non verbal (Egan,1986). Hal ini disebabkan karena attending dan active listening merupakan suatu proses yang berjalan secara beriringan dalam pelaksanaannya. Menurut Verdeber (1996) mengemukakan bahwa dalam active listening mencakup tiga hal yaitu: 1) Understanding. Menghadirkan pengertian-pengertian yang tepat pada apa yang dikatakan, melihat keluar tujuan yang berhubungan, melihat tema-tema utama dan informasi yang mendukung; 2) Remembering. Mempertahankan informasi, mengingat ulang informasi yang merupakan kunci dari masalah yang ada, menciptakan nemonik mental untuk daftar-daftar ide dan kata-kata, membuat suatu catatan yang penting; 3) Evaluation. Pada evaluasi pendengar yang baik akan mendengarkan secara kritis, membedakan fakta dari pendukung dan mengevaluasi pendukung masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar